Sebelum saya lupa, ada baiknya saya menuliskan sedikit catatan dari diskusi menarik yang diselenggarakan pada tanggal 2 Juli 2011 yang telah lalu. Diselenggarakan pada sebuah sore yang cerah di Common Room, secara spesifik diskusi ini membicarakan topik mengenai ‘Seni, Politik dan Teknologi’. Dalam kesempatan ini hadir tiga orang pembicara yang terdiri dari Bambang Sugiharto, Yasraf A. Piliang dan Antariksa. Bagi mereka yang akrab dengan perkembangan serta kajian seni (rupa) dan budaya kontemporer di Indonesia, ketiga orang ini barangkali bukan sosok yang asing lagi.
***
Bambang Sugiharto membuka diskusi sore itu dengan menceritakan kisah tentang situasi di akhir abad ke-20 s/d awal abad ke-21, ketika peradaban modern (barat) kehilangan utopia yang ditandai dengan rontoknya narasi besar (grand narrative) serta kemunculan narasi kecil yang mencerminkan kompleksitas persoalan kebudayaan dunia (global). Semula peradaban modern merupakan sebuah proyek yang membawa gagasan tentang politik emansipasi. Namun kemudian, gagasan politik ini kandas di tengah jalan karena dihantam oleh prinsip kapitalisme yang seakan muncul menjadi satu-satunya ideologi setelah era perang dingin.
Pada era ini, wajah kesenian (modern) berubah menjadi seni subversif yang sekaligus menjadi wajah duka dari dunia politik yang kehilangan ideologi dan bermutasi menjadi agen kapitalisme. Selain itu, posisi dunia politik saat ini secara perlahan juga bergeser posisinya menjadi instrumen perwakilan insting purbawi yang menggusung prinsip primordialisme, kekerasan, rasisme, serta xenophobia. Pergeseran ini menandai akhir dari era politik emansipasi yang mengedepankan aspek etis dan estetis ke era politik bencana yang berorientasi pada masa lalu yang kelam.
Selanjutnya Bambang Sugiharto mengisahkan perkembangan teknologi yang mendominasi abad ke-21 karena dianggap sebagai wilayah netral yang terbebas dari pengaruh ideologi. Asumsi ini tidak sepenuhnya tepat, karena pada kenyataannya ilmu pengetahuan dan teknologi memiliki aspek reduksi dan simplifikasi, yang barangkali sebentuk dan sebangun dengan sifat yang melekat dengan ideologi.
Dalam kaitan dengan hal ini, seni kemudian menjadi wahana yang merefleksikan gagasan-gagasan mengenai ‘the other’ & ‘the sublime‘, selain juga instrumen yang dapat mengantisipasi kemungkinan ekstrim serta evaluasi dari apa yang telah dan akan terjadi. Relasi yang terbentuk diantara seni dan teknologi kemudian menjadi semacam proses refleksi diri, sementara teknologi pada saat yang bersamaan juga menjadi semacam ekstensi dari perkembangan seni. Dalam hal ini perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi juga memiliki dimensi estetik, terutama ketika keduanya secara utuh juga mengedepankan aspek seleksi, pemecahan masalah dan daya persuasi yang mirip dengan dunia seni.